Sabtu, 11 Juli 2020

Podcast: Marketing Tools dalam Konten Audio-blog


Semakin banyak platform digital saat ini, tentu makin banyak gempuran dari marketers dalam berinovasi dan adaptif terhadap segala perkembangan. Menyajikan konten, menjadi bidang kompetitif tersendiri bagi dunia digital terkhusus marketing. Namun, ada satu platform yang patut kita lirik arah trendnya, sebuah platform dengan audio/suara sebagai alat utamanya: podcast.

Sekilas, podcast memiliki kesamaan format dengan radio yang memang sejak dulu digunakan oleh banyak orang untuk mencari beragam informasi. Perbedaan unggul ialah podcast memiliki beragam konten, bervariatif, unik, dan audiens tinggal memilih sendiri. Hal ini yang tidak didapatkan oleh pendengar radio, jika pendengar radio hanya “menerima” siaran radio tanpa bisa memutar kembali siaran kesukaannya, audiens podcast bisa memilih konten yang mereka sukai, memutar ulang, berganti ke konten podcast lainnya sembari melakukan aktivitas lainnya seperti nge-gym, memasak, mengemudi. Konten demandable seperti podcast yang membuat layak kita perhatikan menjadi marketing tools/alat pemasaran. Mengapa bisa demikian?

Pertama, podcast lebih murah dan cepat diproduksi. Hukum ekonomi berlaku disini; modal minim dengan mengharap keuntungan yang berlipat. Merekam episode podcast jauh lebih sedikit memakan waktu dibanding merekam video atau menulis artikel. Alat-alat yang digunakan untuk merekam pun tidak sampai puluhan juta (kita tidak mengambil contoh alat-alatnya podcaster seperti Raditya Dika, Unfaedah Podcast atau Podkesmas ya, dikarenakan mereka sebelum terjun di dunia podcast sudah memiliki nama). Persiapan sebelum merekam episode podcast lebih kurang menyiapkan outline tema yang akan dibahas, lingkungan bebas polusi suara dan sisanya kemampuan pembicara atau bintang tamu dalam sesi acara. Adakah yang terlupa? Software untuk mengedit hasil rekaman! Kembali ke kalimat hukum ekonomi di awal tadi, software untuk mengedit suara cukup banyak, jika mencari yang tidak berbiaya disarankan menggunakan Audacity.

Kedua, podcast nyaman diakses untuk meningkatkan jangkauan audiens. Konten audio lebih nyaman didengar dan diakses karena bersifat orisinalitas dan pribadi. Orang-orang yang menyukai suatu konten dari podcaster biasanya memiliki semacam keterikatan terhadap isi dari konten tersebut. Hal yang menguntungkan apabila kemampuan observasi podcaster menyentuh banyak khalayak dan bisa meningkatkan jangkauan. Platform untuk mempublikasikan podcast pun sudah banyak, katakanlah semisal iTunes, Soundcloud, Anchor, Google Podcast, Spotify. Ketika mengekspos podcast, platform podcast itu sendiri bisa menjadi mesin pencari versi audio, yang mana tentu meningkatkan dan menumbuhkan audiens.

Ketiga, peluang untuk bertemu dan berbicara dengan tokoh tertentu. Dalam podcast ada format monolog, berbicara sendiri mengenai sesuatu, format grup dialog seperti podkesmas dan unfaedah, yaitu sekelompok orang membahas hal tertentu, dan ada yang memakai format wawancara. Walaupun hal tersebut opsional, banyak dari konten podcast yang menggunakan format wawancara, biasanya yang dibahas adalah hal tertentu yang membutuhkan pendapat si ahli/narasumber. Tentu hal ini bisa meningkatkan audiens dengan mempromosikan brand/podcast yang Anda miliki sekaligus menambah koneksi. Sambil menyelam minum air, bukan?

Podcaster pun bisa monetisasi terhadap kontennya dengan menyediakan slot waktu sebagai iklan komersil ataupun menerima donasi langsung dari para audiensnya.

Salah satu podcast yang menarik adalah Spatium Amerta, podcasternya adalah Rivky Goesvi, seorang alumnus Sosiologi Universitas Andalas. Konten podcastnya berbasis audio-blog dengan menceritakan sudut pandang pribadi terhadap hal-hal tertentu dengan bumbu-bumbu pemikiran ala anak sosial politik.

Menarik memang jika mendengar dan melihat keunggulan podcast sebagai sarana marketing. Namun dibutuhkan konsistensi dalam manajemen pembuatan podcast dan analisis data dalam pengembangannya apabila memang serius digunakan untuk bisnis. Namun hidup tidak serta merta untuk keuntungan saja, fungsi hiburan diperlukan dalam podcast ini mana kala keterikatan rasa membangun chemistry antara podcaster, audiens, dengan konten yang dibawakan. Brand awareness pun bisa terbentuk dari hal-hal kecil namun padat dan bermakna.

Pendengar podcast semakin meningkat setiap waktunya, diversifikasi platform ini patut dimasukkan dalam daftar strategi digital marketing kedepannya.


Sabtu, 05 Januari 2019

Mari berdasi, jangan bertani.

Kau jangan jadi petani
Jadilah orang berdasi
Punya fasilitas dan gaji tinggi

Kalau kau jadi petani
Kau bercocok tanam setiap hari
Pergi ke ladang untuk mengawasi

Lalu kau harus mengalah
Pada negara yang punya kuasa
Atas lahan yang kau punya

Hei bapak ibu petani
Jangan menangis dan terkejut
Lahanmu kini bermanfaat
Untuk perusahaan-perusahaan

Dengan misi pembangunan
Anjing-anjing pemerintah yang mengawal
Lalu cecunguk yang menjilat
Datang dengan jumawa ke empunya lahan

Jangan, jangan kau habisi petani
Ambil saja lahannya!
Lalu perlahan mereka mati miskin
Dan engkau juga mati
Semoga
Dengan asap pabrik yang kau dirikan
Atau kau tercekik hutang karena impor beras
Keparat kau orang berdasi!

Atau, kiranya janganlah kau menganggap  miris nasib petani
Sebab kaum menengah sedang tertidur
Atau perlu dibangunkan dengan dongeng reformasi?




#SaveGunungTalang #talangmelawan #tolakproyekgeothermal #tolakgeothermalgunungtalang #tolakpltb #hiduppetani #himapagta #jaandigadueh

Selasa, 25 Desember 2018

Berani ku hanya memikirkanmu

Aku benci pada matamu
Disana lahir anak-anak senja
Bercengkrama dengan iblis dalam kelopakku

Lalu senyummu yang dikulum
Dengan gingsul khasmu yang aku tak tahu fungsinya
Apakah untuk merobek daging
Atau merobek hatiku hingga luluh

Lakumu yang anggun dalam kesendirian
Namun berlagak menguasai dunia jika bersua dengan teman-temanmu

Orang bilang engkau lugu dan natural
Aku mengganggapmu berbeda
Engkau seperti kesalahan yang dulu pernah kulakukan
Namun pada orang yang berbeda

Tumbuh kelaklah jadi wanita mempesona
Jangan kau kelilingi dirimu dengan duri seperti mawar
Karena engkau bunga semanggi
Karena tiap racun ada penawar

Engkau berhak merekahkan senyumku
Menantangku berpikir dan menerka alam semestamu
Namun, aku belum jatuh cinta kepadamu
Tapi bolehkah aku?








Reach me on another account:
Facebook: Muhammad Rivky Goesvi
Twitter: @Rivkygoesvi
Instagram: @rivkygoesvi
Steller: rivkygoesvi

Kamis, 27 September 2018

Pendidikan Politik sebagai Modal Sosial

Di era kekinian ini, sering kita dengar bahkan kita lihat tagar #2019GantiPresiden yang sering berseliweran di media-media sosial. Padahal, pilpres diadakan tahun depan namun suasana pendukung kedua calon sudah menunjukkan kegiatannya dari sekarang. Tak pelak, sering juga kita lihat pertengkaran masing-masing pendukung kubu di media sosial. Apa sebab?


Kurangnya pemahaman mengenai politik bisa dibuktikan dengan banyaknya kabar hoax yang dibagikan melalui akun-akun jejaring sosial, hal ini sering terjadi jika dalam suasana pemilu, baik itu pilpres, pilkada atau pileg. Padahal, pemilihan apa pun namanya tetap saja mewajibkan pendidikan politik bagi pemilih. Pendidikan politik menjadi dasar penguatan pengetahuan politik agar rakyat bisa menentukan pilihan dengan sadar dan rasional sekaligus menjaga kedaulatan rakyat yang sejalan dengan semangat demokrasi.


Hakikat Pendidikan Politik 


Dalam pasal 1 ayat 4 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, disebutkan bahwa “pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Kemudian pasal 34 ayat 3 huruf B UU Parpol menjelaskannya bahwa pendidikan politik berkaitan dengan: (a) pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (b) pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik. (c) pengkaderan anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan. Dengan demikian, pendidikan politik haruslah dijalankan terus-menerus, namun sayangnya pendidikan politik hanya sebatas sosialisasi pribadi atau parpol dalam pemilu dan pilkada. Bahkan terkesan sebagai “pencitraan” ke masyarakat dengan membagikan rezeki melalui amplop dan sembako gratis.


Bagaimana pendidikan politik bisa dijadikan sarana sebagai modal sosial para caleg ataupun parpol dalam pemilihan? Seorang pendidik di Amerika Serikat bernama Lyda Judson Hanifan memperkenalkan konsep modal sosial pertama kali dalam tulisannya berjudul ‘The Rural School Community Centre’ (Hanifan, 1916:130). Hanifan mengatakan bahwa modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Menurut Hanifan, dalam modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerja sama erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial. 


Sementara itu, teoritik James Coleman menuangkan gagasan pemikiran tentang modal sosial melalui bukunya yang berjudul Foundations of Social Theory (Coleman, 1990). Dalam bukunya itu, Coleman mengatakan bahwa modal sosial, seperti halnya modal ekonomi, juga bersifat produktif. Tanpa adanya modal sosial seseorang tidak akan bisa memperoleh keuntungan material dan mencapai keberhasilan lainnya secara optimal. Bertolak dari karya pakar modal sosial sebelumnya, seorang pakar sosiologi Amerika keturunan Jepang kelahiran Chicago, Francis Fukuyama, dalam karyanya Trust: The Social Virtues and the Creation Of Prosperity (1995), mengatakan, kondisi kesejahteraan dan demokrasi serta daya saing suatu masyarakat ditentukan oleh tingkat kepercayaan antara sesama warga. Fukuyama menggunakan konsep kepercayaan untuk mengukur tingkat modal sosial. Ia berpendapat modal sosial akan menjadi semakin kuat apabila dalam suatu masyarakat  berlaku norma saling balas membantu dan kerjasama yang kompak melalui suatu ikatan jaringan hubungan kelembagaan sosial.


Implementasi Pendidikan Politik sebagai Modal Sosial


Untuk memahami konsep modal sosial tersebut dapat diberikan contoh sebagai berikut. Seseorang atau kelompok yang memiliki modal sosial berupa hubungan baik dengan pejabat atau penguasa bisa memperoleh keuntungan berupa materi atau perlindungan dari pejabat atau penguasa itu. Tetapi apabila kemudian situasi politik berubah, modal sosial semacam itu justru bisa berbalik merugikannya. Orang-orang yang berseberangan dengan paham politik dengan pejabat itu pasti tidak akan memberikan kesempatan padanya untuk mendapat keuntungan dalam bentuk apapun. Paling tidak ia akan dikucilkan dan tidak akan mendapat kepercayaan di dalam jaringan hubungan lain yang para anggotanya tidak menyenangi pejabat tersebut. 


Di sinilah peran pendidikan politik sebagai modal sosial berfungsi untuk menjembatani antara kelompok yang memiliki hubungan dengan pejabat ataupun pejabat yang ingin mendapatkan jaringan kepercayaan dari kelompok masyarakat. Para pejabat atau calon dan juga partai politik, katakanlah jika mereka ingin mendapatkan suara rakyat yang mendukungnya hendaknya mereka melakukan pendidikan politik yang sudah diatur UU dan menjadikannya modal sosial dalam pendekatan ke masyarakat, tujuannya agar mereka mendapatkan kepercayaan dan bantuan dari kelompok masyarakat yang dididiknya. Di sisi lain, masyarakat mendapat perhatian dan pemahaman lebih jauh mengenai politik bukan hanya sekadar kampanye bagi-bagi amplop dan sembako gratis namun juga pemikiran dan rasa menghargai pilihan politik masing-masing sehingga masyarakat bisa menentukan pilihan dengan sadar dan rasional tanpa perlu diadu oleh kabar hoax.


Sudilah kiranya para caleg dan parpol yang akan bertarung dalam pemilu ‘turun gunung’ untuk melaksanakan pendidikan politik sebagaimana mestinya bukan hanya untuk mendulang suara rakyat namun untuk mengenal dan memahami rakyat sekaligus menjaga kedaulatan rakyat yang sejalan dengan semangat demokrasi. (*)

Editor : Elsy Maisany
Sumber Berita : Rivky Goesvi - Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Andalas


Tulisan ini pernah dimuat di koran Padang Ekspres, terbit pada Rabu 12 September 2018.

Kamis, 06 September 2018

Kekeluargaan


Perkenalkan sebuah keluarga
Yang menetap di sebuah negara
Yang dihuni oleh paman kerabat
Ibu-ibu kader                      
Bapak-bapak birokrat
Tante-tante diplomat

Tapi semuanya acuh tak acuh
Pada anak yang masih kebingungan
Haruskah berkenalan dengan orang-orang tua tadi
Padahal si anak belum mengenal dirinya sendiri
Bersenjatakan sebuah buku
Isinya tanda tangan
Sebagai bukti perkenalan
Lalu muncul setan-setan haus perhatian

Akulah anak itu
Yang selalu meratap ke dalam ruangan
Berisikan orang-orang tua tadi
Kepalaku botak dengan pita oranye sebagai penanda

Psst..jangan kasih tahu siapapun
Sebagian dari orang-orang tua tadi yang kusebutkan diatas
Ternyata satu kelas denganku!
Lalu kutanya,
“bang maulang atau mampelokan nilai?”

Rivky Goesvi, Pemerhati Anak Baru.

Minggu, 26 Agustus 2018


menakjubkan! sebuah negara yang memisahkan diri dari negara induknya sekarang tengah bersusah-payah membangun pondasi negaranya. bagaimana tidak susah? rakyatnya hanya peduli pada kepentingan akademisnya, itupun jika ingin peduli dengan negara harus ada tekanan dari rakyat yang lebih tua. ah bosan! padahal rakyat tua hanya jago omong belaka, tapi rakyat yang muda malah tak tahu etika! lalu, orang-orang disini “sadar” pada negara jika ada  acara musik, atau sebuah pertunjukan yang mereka sebut “inaugurasi” dan menyambut rakyat baru setiap pertengahan tahun. omong-omong, negara ini diatur oleh rakyat, untuk rakyat, dari rakyat, tapi melalui persetujuan orang-orang dekanat. sangat lucu bukan?


penggemar bola ping-pong yang suka lihat sepak takraw, ditulis dalam keadaan bergairah setelah melihat acara wisuda.

SPADI


Apa hebatnya mahasiswa
Terkhusus ia yang belajar di jurusan “tua”
Padahal nabi-nabi keilmuannya melejit hebat
Mahasiswanya? terkadang sedikit lambat
Ah! Mereka kan bagus kuliahnya
Ujar mahasiswa jurusan bawah
Padahal, nyatanya
Mahasiswa jurusan tua hanyalah hebat teori belaka
Kuliah di lapangan pun belum tentu bisa

Dosennya sibuk proyek
Mahasiswanya merengek-rengek
Meminta nilai A
Duh, kita kan calon kaum pekerja
Yang hanya bersenjatakan ijazah
Atau, gelar wisuda
Ya..itu terserah anda

Tapi, ada mukjizat lain di jurusan ini
Yang selalu ribut karna berebut wifi
Dengan mahasiswa basi
Yang masih mondar-mandir disini
Di jurusan Sosiologi



Pembenci Labor Sosiologi Karena Bukunya Susah Dicuri Lagi, Dua Puluh Enam Bulan Delapan Dua K Delapan Belas

Pengikut

Entri Populer